Sunday, March 10, 2013

TEROR DAN "DIALOG" : KOMBINASI CARA ORDE BARU MEMPERTAHANKAN KEKUASAANNYA


    Pius Lustrilanang, Haryanto Taslam, dan Desmon J. Mahesa sudah dibebaskan. Pius --dengan resiko ditembak mati sekalipun-- membeberkan kepada publik apa yang menimpanya selama diculik dan disekap. Tepat dengan yang menjadi dugaan selama ini bahwa para aktivis yang raib itu disekap di kamp penyiksaan militer --walau belum jelas benar institusi mana yang melakukan, entah BIA, Bakorstanas, BAKIN, atau yang lain. Namun, yang jelas mereka adalah alat kekuasaan.Penculikan dan penyiksaan di masa kekuasaan diktator Soeharto memang bukan hal yang baru. Bahkan, berdirinya rejim Orde Baru tidak lain adalah buah dari pembantaian massal, penyiksaan dan penculikan-penculikan, baik terhadap anggota PKI maupun yang dituduh PKI, ataupun anggota organisasi lain yang pro-Soekarno.

    Di antara orang-orang yang hilang atau diculik militer, sebagian ada yang kembali dan sebagian ada yang tidak atau belum kembali. Seperti di ungkap Pius, di dalam penyekapan dia bertemu Sony yang sudah 9 bulan disekap di situ. Memang sampai sekarang banyak aktivis yang diculik dan tidak jelas nasibnya. Apa nasib puluhan aktivis PDI yang hilang pada peristiwa 27 Juli 1996 ? Mungkinkah selama dua tahun ini mereka disekap ? Bagaimana juga nasib Dedy Handum --suami Eva Arnaz-- yang hilang saat kampanye pemilu tahun lalu ? Juga tidak terpantau. Apakah di antara mereka ada yang senasib dengan Marsinah, diculik lalu disiksa dan dibunuh ? (semoga saja ini tidak terjadi)
    Sungguh rendah martabat manusia di masa kekuasaan Soeharto ini !

    DUA CARA MEREDAM PERLAWANAN
    Penculikan dan semua tindakan teror itu tidak lepas dari semakin marakya perlawanan dari bawah. Akhir-akhir ini mahasiswa tumpah ruah di mana-mana. Mereka menuntut reformasi secara mendasar di segala bidang dan juga menolak pencalonan Soeharto sebagai presiden yang ketujuh kali.

    Maraknya aksi mahasiswa ini sangat membahayakan kekuasaan sebab aksi-aksi ini belum mencapai puncaknya. Baru satu elemen yang melakukan perlawanan secara meluas, yaitu kelas menengah intelektual. Dan pada gilirannya elemen ini akan menyeret elemen yang lain --yang selama ini walaupun belum sesemarak aksi mahasiswa juga sudah turun ke jalan-- yaitu elemen buruh, kaum miskin kota, juga sedikit kelas menengah profesional.

    Orde Baru tak mampu dan tak punya niat baik memenuhi tuntutan reformasi. Coba bayangkan jika, kita ambil contoh reformasi politik, paket 5 Undang-Undang (UU) Politik 1985 dan Dwi Fungsi ABRI dicabut, apa konsekuensinya ? Jelas akan ada kebebasan berpartai, kebebasan membuat organisasi massa (ormas), kebebasan dalam pemilu, serta keterbukaan dalam Sidang Umum (SU) MPR. Ini sama saja bunuh diri bagi kekuasaan Soeharto sebab kekuasaan Soeharto selama ini dipertahankan antara lain dengan memasung demokrasi melalui paket 5 UU Politik 1985 dan Dwi Fungsi ABRI itu.

    Untuk menghadapi ini, Soeharto memiliki dua cara, yaitu REPRESI dan KONSESI.
    Cara pertama selalu dia lakukan, baik yang ringan seperti penggebukan para demonstran, penangkapan, pemenjaraan, hingga cara yang berat seperti penculikan, pembunuhan, penyerbuan militer, dan teror.

    Sementara, konsesi merupakan sogokan untuk memanipulasi tuntutan rakyat. Seperti tuntutan adanya dialog secara demokratis dan terbuka, dijawab dengan dialog yang artifisial dan direkayasa. Tuntutan mengubah UU tentang Pemilu, misalnya, dijawab dengan mengubah aturan-aturan operasional semata. Tetapi rakyat Indonesia tidak sebodoh yang diperkirakan rejim. Dialog antara ABRI - mahasiswa di Kemayoran beberapa waktu lalu ditolak dan tidak populer. Terbukti bahwa usaha itu tidak berhasil. Mahasiswa terus saja demonstrasi.

    PENCULIKAN BERAKIBAT SENJATA MAKAN TUAN
    Penculikan yang dilakukan akhir-akhir ini sungguh menjadi senjata makan tuan. Memang dengan penculikan itu dapat membuat banyak orang ketakutan. Tapi, dampak politiknyua bagi kediktatoran sangat buruk sebab berita penculikan itu tersebar luas di dunia internasional dan bahkan sampai Komisi Hak Asasi Manusia PBB. Reaksi keras dimana-mana ditujukan terhadap pemerintah Soeharto.

    Sungguh berbeda dengan penculikan-penculikan yang dilakukan sebelumnya. Kali ini dampaknya jauh lebih hebat. Di dalam negeri sendiri, penculikan-penculikan itu menjadi liputan utama media massa. Rakyat menjadi semakin tahu watak sesungguhnya kediktatoran Orde Baru. Rakyat semakin sadar siapa dan bagaimana watak ABRI sebenarnya.

    Apakah dengan akibat yang kontra-produktif bagi rejim ini, cara-cara teror negara akan diakhiri ? Sekilas kita lihat elemen-elemen kediktatoran Orde Baru seperti DPR, Menlu, bahkan Kapolri dan Pangab/Menhankam sendiri mengeluarkan statemen yang menentang penculikan itu. Itu biasa ! Siapa yang mau beresiko jatuh secara politik dengan mengeluarkan statement mendukung tindakan kejam tidak berperikemanusiaan ? Juga wajar jika mereka melakukan usaha-usaha --tapi ini biasanya bersifat artifisial-- yang sifatnya seolah-olah mengusut kasus penculikan itu. Semua tidak ingin terkena noda. Semua ingin bersih.

    Tapi usaha nyata mengakiri teror negara belumlah nampak dan juga belum ada alternatif lain untuk meredam perlawanan. Di sana-sini masih ada kabar rumah atau tempat kost aktivis yang didatangi intel. Setiap hari masih ada kabar saudara dan keluarga aktivis yang didatangi intel. Hal ini menunjukkan bahwa para intel masih bergentayangan di mana-mana untuk, tidak, menteror aktivis.
    Jika cara-cara teror ini diakhiri, cara apa lagi yang digunakan untuk mempertahankan kediktatoran Orde Baru, yang per definisi adalah kediktatoran militeris-kapitalis --kediktatoran militeris kapitalis adalah kediktatoran kelas kapitalis yang ditopang penuh dengan kekuatan militer. Bukankah Orde Baru hidup dan mati tergantung kekuatan militer ? Orde Baru tidak bisa mengandalkan kekuatan ekonomi dan menjamin kesejahteraan bagi rakyat untuk mempertahankan kekuasaannya. Orde Baru juga tidak bisa mengandalkan dukungan rakyat atau dukungan massa untuk mempertahankan kekuasaannya. Orde Baru juga tidak punya tokoh karismatis untuk mempertahankan kekuasaannya. Orde Baru pun tidak punya legitimasi agama sebagai kekuatannya. Cara apa lagi kalau bukan kekuatan militer ?

    WIRANTO JENDERAL DEMOKRATIS ?
    Di antara aktivis di Indonesia beredar desas-desus bahwa ada dua faksi atau kelompok militer, yaitu ABRI Merah-Putih (yang konon kabarnya nasionalis) dan ABRI-Hijau (Yang konon kabarnya berkolaborasi dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia --ICMI). Konon, menurut desas-desus tersebut, ABRI Merah-Putih ini merupakan kelompok yang pro-demokrasi. Beberapa tokoh yang kabarnya masuk kelompok ini adalah Jenderal Wiranto, Susilo Bambang Yudhoyono, Agum Gumelar, Edi Sudrajat, dan Soesilo Sudarman (alm).

    Dengan naiknya Wiranto sebagai Pangab dan bahkan merangkap Menhankam, justru cara-cara teror yang tidak berperikemanusiaan semakin gencar. Seharusnya, jika desas-desus bahwa elemen ABRI Merah-Putih ini pro-demokrasi, tentu ABRI tidak akan menggunakan cara-cara ini.

    Tidak jelas darimana datangnya desas-desus itu. ABRI sendiri menolak keberadaan desas-desus tersebut, bahkan curiga bahwa itu hanya digunakan untuk membuat kesan seolah-olah ABRI pecah. ABRI memang terbukti solid. Tidak ada pertentangan secara politik di antara para perwira atau antara korps. Paling-paling ada beberapa barisan sakit hati yang mulai kritis. Kritis setelah tidak punya posisi. Friksi-friksi dalam ABRI yang nampak selama ini hanya sebatas persaingan untuk berebut posisi. Sama sekali tidak mulia !

    Apakah dengan isu adanya ABRI hijau dan merah putih ini dapat efektif membuat ABRI menjadi saling curiga ? Tentu saja tidak. Yang terjadi, justru menimbulkan semacam harapan palsu di antara rakyat atau aktivis agar ABRI yang "pro-demokrasi" ini mendukung gerakan reformasi. Ini justru membahayakan gerakan.

    Nampaknya Wiranto berusaha cuci tangan dengan terbongkarnya kasus teror negara ini. Usaha itu antara lain, pertama, membuat kesan bahwa pelaku teror itu berada di luar garis komando ABRI. Kedua, dia membuat tim kecil untuk menyelidiki kasus ini. Apakah usaha cuci tangan ini akan berhasil ? Lihat saja nanti. Sekedar mengingatkan, dia baru saja gagal membuat kesan bahwa dirinya adalah jenderal yang pro-reformasi dengan cara memprakarsai "dialog" antara ABRI-Mahasiswa.*** =eof=

    Sumber:
    PARTAI RAKYAT DEMOKRATIK ( P R D ) 
    PEOPLE'S DEMOCRATIC PARTY, INDONESIA
    Europe Office
    E-mail : prdeuro@xs4all.nl
    Date: Sat, 02 May 1998 18:03:03 +0200

0 comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls